Musik Pesisir Waropen

Selain meneliti rekaman nyanyian orang Waropen di Batavia, Kunst meneliti lebih lanjut musik pesisir Waropen melalui hasil-hasil penelitian Prof. Dr. G.J. Held. Karya Held yang dipakai Kunst sebagai suatu sumber acuan adalah Papoea’s van Waropen, terbitan Leiden (Belanda) tahun 1947. Versi bahasa Inggrisnya, The Papuas of Waropen, diterbitkan di the Hague (nama Inggris untuk Den Haag, Belanda) tahun 1957.

Held bukan seorang ahli musik profesional, seperti Kunst. Dia sebenarnya seorang ahli bahasa yang dipekerjakan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian bahasa daerah di Waropen.

Meskipun demikian, dia berkesempatan untuk melakukan rekaman nyanyian-nyanyian orang Waropen. Rekamannya memakai Fonograf merek Excelsior yang diberikan oleh Arsip Fonogram Kota Berlin, Jerman. Meskipun mencapai Berlin, tidak diketahui apakah hasil rekamannya tetap tersimpan utuh sesudah Perang Dunia II. Kalaupun masih ada sesudah perang besar itu, hasil rekamannya belum dialihkan dalam bentuk notasi balok disertai kata-kata – kalau ada. Sebagai akibatnya, Kunst meneliti musik pesisir Waropen hanya berdasarkan bahan-bahan terbitan Prof. Dr. G. J. Held. Yang Kunst buat adalah meneliti bagian-bagian yang relevan tentang musik pesisir Waropen dari buku Held.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Selain meneliti rekaman nyanyian orang Waropen di Batavia, Kunst meneliti lebih lanjut musik pesisir Waropen melalui hasil-hasil penelitian Prof. Dr. G.J. Held. Karya Held yang dipakai Kunst sebagai suatu sumber acuan adalah Papoea’s van Waropen, terbitan Leiden (Belanda) tahun 1947. Versi bahasa Inggrisnya, The Papuas of Waropen, diterbitkan di the Hague (nama Inggris untuk Den Haag, Belanda) tahun 1957.

Held bukan seorang ahli musik profesional, seperti Kunst. Dia sebenarnya seorang ahli bahasa yang dipekerjakan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian bahasa daerah di Waropen.

Meskipun demikian, dia berkesempatan untuk melakukan rekaman nyanyian-nyanyian orang Waropen. Rekamannya memakai Fonograf merek Excelsior yang diberikan oleh Arsip Fonogram Kota Berlin, Jerman. Meskipun mencapai Berlin, tidak diketahui apakah hasil rekamannya tetap tersimpan utuh sesudah Perang Dunia II. Kalaupun masih ada sesudah perang besar itu, hasil rekamannya belum dialihkan dalam bentuk notasi balok disertai kata-kata – kalau ada. Sebagai akibatnya, Kunst meneliti musik pesisir Waropen hanya berdasarkan bahan-bahan terbitan Prof. Dr. G. J. Held. Yang Kunst buat adalah meneliti bagian-bagian yang relevan tentang musik pesisir Waropen dari buku Held.

Ciri-Ciri Musik Pesisir Waropen

Nyanyian-nyanyian tradisional penduduk Waropen tentang mitos-mitos mereka. Ada rano, suatu jenis nyanyian yang dibawakan lelaki; ratara, jenis lain yang dinyanyikan wanita pada pernikahan atau kelahiran bayi; dan muna, jenis yang dinyanyikan pada upacara kematian oleh lelaki dan wanita. Meskipun rano, ratara, dan muna masing-masing dinyanyikan mengikuti gaya yang berbeda-beda, semuanya berhubungan dengan mitos-mitos.

Ada tujuh macam nyanyian yang tergolong pada rano. Pertama, soitirano, dinyanyikan ketika suatu pasangan mempelai yang “diarak” dengan perahu yang didayung orang lain keliling kampung untuk diperkenalkan kepada anggota sekampung. Ia dinyanyikan juga ketika sebuah perahu yang baru selesai dibuat didayung pertama kali. Kedua, ghomindano, dinyanyikan selama suatu pelayaran untuk menangkap budak-budak dan sesudah para pengayau kembali dari pelayaran itu. Ketiga, amairano, nyanyian pagi yang dinyanyikan pada upacara inisiasi yaitu upacara peralihan seorang anak menjadi orang dewasa. Keempat, damadorano, nyanyian di rumah inisiandus yaitu anak yang akan beralih menjadi orang dewasa selama pesta inisiasi. Kelima, nuarano, nyanyian tentang perdagangan yang dinyanyikan secara khusus di perahu. Keenam, ramasasiri, nyanyian khusus, biasanya dibawakan dalam suatu bahasa asing dan dinyanyikan hanya selama perjalanan dengan perahu. Ketujuh, ratisara, nyanyian tentang cinta, dibawakan di perahu dan rumah. Sesudah penduduk Waropen menjadi Kristen, mereka menyanyikan juga ketiga jenis nyanyian terakhir.

Suatu rano dinyanyikan sebagai semacam kanon. Seorang atau beberapa orang penyanyi menyanyikan suatu bagian nyanyian. Sebelum mereka selesai dengan nyanyian, seorang atau beberapa orang lain menyanyikan lagu yang sama dari awal sementara pihak pertama mengulangi nyanyiannya dari awal sesudah tiba di akhirnya. Pihak kedua melakukan hal yang sama. Pada suatu waktu tertentu, kedua pihak berhenti secara serempak atau berturut-turut.

Susunan suatu rano mengenal istilah euwo. Istilah ini berarti “dasar” atau “kaki”. Ini barangkali berarti bagian pertama dari strofa pertama. (Secara sederhana, strofa adalah bait syair atau bait lagu.) Dalam bentuk mirip kanon, euwo dari rano boleh dikatakan adalah bait pertama yang dinyanyikan salah satu dari dua kelompok yang membawakan rano. Kalau ada euwo, apakah ada uri, puncak rano? Tidak ditemukan meskipun ada upaya untuk menemukan puncak nyanyian ini.

Dalam suasana dan untuk alasan apakah para pedayung menyanyikan lagu-lagu untuk berdayung? Mereka hanya menyanyi ketika berdayung. Ketika hari panas terik, perahu tidak bisa berlayar karena tidak ada angin yang meniup layar, mereka sangat kepanasan. Tapi ketika laut bergelombang dan menghantam badan perahu, para pedayung menyanyi senyaring-nyaringnya melawan bunyi hembusan angin. Ketika malam tiba, ketika perjalanan laut berakhir dan awak perahu memasuki kampung, mereka menyanyikan lagu-lagu berdayung yang megah dan merdu sambil memakai ayunan dayung yang pendek untuk menarik dan memecah massa air laut menjadi percikan-percikan. Cara berdayung seperti ini disebut kikaworo, secara harfiah berarti “mereka menarik dan memercikkan air laut”. Sementara perahu didayung dengan cara demikian untuk memasuki kampung, penduduk yang menaruh minat berdiri sambil menonton perahu dan pedayungnya.

Rano adalah nyanyian untuk berdayung yang dibawakan dengan gaya kanon. Tulis Held: “Pertama, seorang lelaki menyanyikan nyanyian itu, pedayung lelaki lainnya di belakang perahu mengangkat bait pertama dan ketika mereka menyanyikan suatu bagian dari nyanyian itu, para pedayung di bagian depan masuk dengan bagian awal nyanyian itu. Jadi, untuk setiap kelompok penyanyi, ada serangkaian saat istirahat sejenak selama nyanyian itu dibawakan.” Cara menyanyi seperti ini mirip orang yang tengah mengejar sesuatu; setiap pihak saling mendorong untuk saling mendahului. Held menduga cara menyanyi seperti ini menunjukkan bahwa bahasa mitos sebagai sarana penciptaan nyanyian-nyanyian untuk berdayung penduduk Waropen membuat perahu melaju.

Di luar nyanyian untuk berdayung, ada nyanyian tradisional yang diiringi siwa, istilah bahasa Waropen untuk tifa. Tifa dari Waropen adalah instrumen musikal paling penting mereka dan diimpor terutama dari kepulauan Moor dan Mambor, Teluk Geelvink bagian selatan. Penduduk kepulauan ini punya keahlian khusus dalam membuat ukiran dari kayu. Held tidak menemukan bukti pernyataan bahwa orang Waropen pun ahli dalam membuat tifa.

Bentuk tifa tadi mirip gelas kimia (untuk percobaan di laboratorium kimia), kecuali siwabuino. Ini separuh tifa yang sering ditabuh wanita dan tampak mirip separuh ukuran siswa. Untuk mengiringi tarian, kedua jenis tifa itu harus disetem sesuai dua macam tingginada. Untuk penyeteman ini, kulit hewan yang direntangkan pada ujung tifa itu harus dikencangkan berkali-kali di atas api kecil. Ia juga harus punya bulatan-bulatan kecil dari damar yang dilekatkan pada permukaan kulit itu. “Tampaknya, orang Waropen menuntut standar bunyi yang tinggi dari tifa-tifa itu,” jelas Prof. Dr. G. J. Held. “Mereka memberi banyak nama individual pada tifa-tifanya dan mereka bisa mengenalnya pada suatu jarak melalui bunyinya.”

Bagaimanakah kulit itu menghasilkan bunyi yang diinginkan? Kulit itu dari moiwa, biawak, yang berlimpah-limpah di Waropen. Kulit itu dikerok sampai bersih ketika ia masih segar, direntangkan pada suatu kerangka yang dibuat dari bilah-bilah dan dikeringkan oleh matahari. Kalau kulit yang direntangkan pada tifa ingin diperbarui, orang terlebih dahulu harus melumasi lingkarannya dengan sejenis zat yang diperoleh dari buah pohon bakau. Kulit itu lalu dilenturkan dengan membasahinya, ditarik sampai menjadi tegang keliling tepi yang lengket dan diikat kencang dengan bilahan tali dari rotan yang sudah dikeringkan. Sesudah itu, kulit itu dikeringkan di matahari untuk mengencangkannya pada ujung tifa lalu bilahan tali rotan itu dilepaskan.

Alat-alat musikal lain dipakai juga di Waropen. Itu mencakup bermacam-macam mauno atau gong, dan buro, terompet dari kulit kerang yang salah satu bagiannya dilubangi untuk ditiupi. Tungge atau harpa Yahudi pun dipakai; diduga ia berasal dari pedalaman. Suling tradisional di Waropen memakai dua lubang tiup, tempat orang bisa memainkan lagu yang sederhana.

Held menyebut juga suatu instrumen musikal yang khas dan barangkali tidak ada lagi di Waropen masa kini: mbumbu. Ia berbentuk suatu baling-baling kayu yang diputar dengan menarik seutas tali yang berputar keliling suatu bulatan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer