Perempuan Waropen dan Lingkungannya

Sore itu, di lembah Rosa Tonater, demikian nama sebuah gunung di Waropen Tanah Papua, seorang perempuan mondar-mandir di antara pepohonan mangrove. Awan di puncak Rosa Tonater terlihat hitam pekat pertanda hujan, namun dirinya tampak sibuk mengurus 2 petak tambak kepiting dan 2 petak tambak bia (kerang). Di tambak kepiting, ada berbagai ukuran, dari yang kecil hingga yang besar. Sedangkan di tambak bia, terdapat berbagai jenis beserta ukuran yang berbeda-beda pula. Sementara itu, beberapa orang terlihat memegang karung menghampiri perempuan pemilik tambak itu untuk membeli kepiting dan bia darinya. Mereka saling tawar-menawar harga, ada orang asli Waropen dan ada juga orang dari luar Papua. Mereka membeli untuk menjualnya di kota Serui, Manokwari, Biak dan Jayapura. Ada juga yang membeli untuk dibawa ke kota sebagai oleh-oleh bagi keluarga. Hanya dengan Rp. 100,000,- pembeli bisa bawa pulang bia kodok 1 karung 20 kilogram. Sedangkan kepiting, cuma Rp. 3,000,- untuk ukuran besar, dan Rp. 1,000,- untuk ukuran kecil. Harganya memang tidak seberapa, tetapi perempuan penambak ini, ternyata sudah tamatkan 3 orang anaknya yang mengenyam pendidikan tinggi di Makassar. Perempuan berusia lanjut ini mengaku bahwa dirinya sudah sangat menyatu dengan lingkungan mangrovenya. Siapakah perempuan itu?
Mengenal perempuan itu dan keluarganya
Mama Suster Apya Imbiri, 53 tahun. Keluarga perempuan ini bisa disebut sebagai keluarga PNS. Pasalnya, suami istri berstatus PNS sejak puluhan tahun lalu. Apya Imbiri dalam kariernya adalah seorang suster perawat di PUSKESMAS Distrik Masirei, Kabupaten Waropen. Suster perawat didikan Belanda ini masih terlihat semangat dan disiplin kerjanya. Ia pegawai negeri sipil, namun mengakui jika keluarganya tidak bergantung pada gaji PNSnya. Padahal, suami mama suster, Gothlief Kaiwai, 59 tahun juga adalah seorang PNS. Guru SD yang sudah puluhan tahun menjabat status kepala sekolah. Keduanya tidak atau belum pernah pindah tempat tugas dari kampung halaman mereka. Dengan gaji yang pas-pasan, keduanya terus mengabdi di bidang kesehatan dan pendidikan di kampung Koweda, Masirei, Waropen.
Sukaduka PNS melahirkan ide tambak kepiting dan bia
Mama suster Imbiri, demikian sapaan akrabnya di kampung Koweda, mengungkapkan segala pengalaman dan suka-dukanya bersama sang suami dan ketiga anaknya. Sewaktu tugas di Koweda, pada tahun 1964, dengan gaji kecil mereka merasa berat untuk membiayai kehidupan keluarga, apalagi ambil gaji harus ke kota Serui yang berstatus ibukota Kabupaten Yapen Waropen. Biaya habis hanya untuk pergi ambil gaji dan belanja kebutuhan rumah tangga di kota Serui. Tetapi lama-kelamaan mama suster dan bapak guru ini bersepakat untuk tidak pusing dengan gaji, biar saja nanti orang di dinas kesehatan dan dinas P&K masukkan saja di rekening bank. Biaya hidup dengan mencari bia dan kepiting di Waropen, terbantu juga dengan kebun untuk makan sedikit.
Biaya untuk anak sekolah juga tidak mungkin harap gaji, sehingga bersama paitua (=suami) mencoba buat tambak kepiting dengan tambak bia ini. Hasilnya lumayan untuk hidup dan membiayai anak sekolah sampai 3 anak ini selesai perguruan tinggi. Setiap sore, mereka mengayuh jauh untuk mencari kepiting dan bia. Dikumpulkan di tambak sampai orang lain datang beli. Yang dikhawatirkan, jangan sampai ada pencemaran lingkungan dari perusahaan seperti perusahaan kayu maupun minyak dan gas bumi, dan jika hutan mangrove dirusak, itu berarti kepiting, bia, udang dan ikan juga musnah. Prinsip mereka selalu mendidik anak-anak untuk mencintai lingkungan hidup, mangrove harus dijaga dan dilindungi. Jangan berpikir untuk makan pada hari ini saja, karena masih ada hari esok. Demikian tutur Apaya Imbiri mengenai jalan hidupnya.
Perempuan dan lingkungan hidup
Berpijak pada pengalaman hidup dan karier keluarga mama Suster Apya Imbiri di atas, penulis tertarik membuat sebuah refleksi atas pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis gender dan berwawasan lingkungan. Betapa eratnya hubungan perempuan dan lingkungan hidup itu. Sebagai penulis, saya memang kagum akan kekayaan sumberdaya alam di Tanah Papua, karena segala sesuatu untuk kebutuhan dasar manusia yang hidup di atas tanah ini sudah tersedia sejak adanya. Namun, saya lebih kagum lagi akan kehidupan sosok perempuan Waropen tersebut dengan keluarganya yang selain mengabdi untuk melayani kebutuhan masyarakat di kampung halamannya pada bidang kesehatan dan pendidikan, mereka juga adalah penggiat konservasi lingkungan hidup. Mama Suster Apya Imbiri dan Bapak Guru Gothlief Kawai, bukan sosok PNS yang hanya hidup bergantung pada gaji, tetapi justru lebih bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam seperti kepiting dan bia yang hidup di antara akar pohon mangrove di pesisir laut dan sungai.
Dalam kehidupan keluarga batih di Tanah Papua, pada umumnya kaum perempuan juga sangat besar perannya bagi kehidupan keluarga. Di seluruh belahan Tanah Papua, perempuan tergolong pekerja keras untuk menghidupi keluarganya, dari penyedia bahan makanan, sampai menyediakan air bersih dan kayu api untuk kebutuhan rumah tangga. Percaya atau tidak, dan terima atau tidak, kehidupan dan pengalaman hidup kaum perempuan di pegunungan Jayawijaya hingga kaum perempuan di pesisir pantai seperti Yapen Waropen dapat membenarkannya.
Dengan demikian, mama suster Imbiri telah menunjukkan bahwa perempuan sangat potensial menjadi "motor" penggerak dalam upaya penghematan energi (listrik, gas, minyak tanah). Hal ini berarti peran perempuan juga sangat besar dalam memberi kesempatan kepada generasi berikutnya agar dapat menikmati sumber daya alam di Papua yang semakin hari makin menipis sebagai akibat dari pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan cenderung memposisikan masyarakat Papua yang produktif menjadi konsumtif belaka. Sehubungan dengan keberlanjutan lingkungan hidup, sebagai ibu, perempuan berpotensi untuk menanamkan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan pada anak-anaknya dalam pola pendidikan di lingkup keluarganya.

Penulis:Pietsaw and Victor Mambor, Tabloid Jubi

Komentar

Postingan Populer